Sartunus – sebuah kejadian astronomi langka menghadirkan kesempatan emas bagi para ilmuwan NASA untuk mengamati Uranus — salah satu planet paling misterius di Tata Surya — dengan detail yang belum pernah tercapai sejak lebih dari 30 tahun lalu. Kejadian ini disebut okultasi stellar, ketika Uranus melintas tepat di depan sebuah bintang jauh, dari sudut pandang pengamat di Bumi.
Fenomena ini hanya bisa disaksikan dari sebagian wilayah Amerika Utara bagian barat, namun dampaknya jauh lebih besar dari sekadar tontonan langit. Melalui peristiwa ini, para peneliti berhasil mengungkap informasi penting tentang struktur atmosfer Uranus, suhu, tekanan, hingga pola dinamika iklim di ketinggian yang berbeda
Okultasi Stellar: Jendela Langit untuk Mengintip Atmosfer Planet “Uranus lewat di depan sebuah bintang yang berjarak sekitar 400 tahun cahaya dari Bumi,” jelas William Saunders, ilmuwan planet di NASA Langley Research Center dan peneliti utama kampanye Uranus Stellar Occultation Campaign 2025. Ketika Uranus mulai menutupi cahaya bintang tersebut, atmosfernya membelokkan (merefraksi) cahaya sehingga bintang terlihat perlahan meredup, lalu menghilang. Setelah planet melintas, cahaya bintang kembali muncul secara bertahap. Pola perubahan kecerahan ini disebut kurva cahaya (light curve). “Dengan mengamati perubahan kurva cahaya dari berbagai teleskop besar, kami bisa memetakan karakteristik atmosfer Uranus pada berbagai lapisan ketinggian,” ujar Saunders.
Kurva cahaya ini menjadi alat yang sangat kuat dalam menganalisis struktur atmosfer — termasuk stratosfer, yaitu lapisan tengah atmosfer Uranus. Dengan data ini, ilmuwan dapat mengetahui bagaimana suhu dan tekanan bervariasi, bagaimana atmosfer berubah dalam beberapa dekade terakhir, dan bagaimana merancang misi eksplorasi masa depan ke planet raksasa es ini.
Upaya Kolaboratif Internasional: 30 Ilmuwan, 18 Observatorium Kampanye pengamatan Uranus ini menjadi salah satu proyek kolaboratif terbesar yang pernah dilakukan NASA untuk peristiwa okultasi stellar.
Dipimpin dari NASA Langley, tim ini melibatkan lebih dari 30 ilmuwan dari seluruh dunia dan mengandalkan pengamatan dari 18 observatorium profesional, termasuk teleskop NASA di Hawaii dan observatorium akademik di Amerika Serikat dan luar negeri. “Ini pertama kalinya kami bekerja sama dalam skala sebesar ini untuk okultasi,” kata Saunders. “
Saya sangat berterima kasih kepada semua anggota tim dan setiap observatorium yang berpartisipasi dalam peristiwa luar biasa ini.
” Pengamatan ini bukan hanya untuk memahami atmosfer. Data dari okultasi ini juga membantu ilmuwan mengukur struktur cincin Uranus, gejolak atmosferik (turbulensi), serta menyempurnakan data orbit planet ini yang hingga kini masih memiliki ketidakpastian sekitar 160 kilometer.
Uji Coba dari Asia: Mempersiapkan Momen April 2025 November 2024 menjadi panggung uji coba penting. Saat itu, tim NASA mengoordinasikan dua teleskop di Jepang dan satu di Thailand untuk mengamati okultasi Uranus terhadap bintang yang lebih redup. Meski tidak secerah peristiwa April 2025, pengamatan ini sangat penting untuk melatih kalibrasi instrumen dan menguji teori bahwa pengamatan dari banyak lokasi secara bersamaan akan memperkuat keakuratan data. Tim dari Observatorium Paris dan Space Science Institute juga menyumbangkan data penting dari India. Hasilnya, prediksi waktu okultasi di bulan April berhasil dipersempit hingga ke tingkat detik, dan posisi Uranus dalam ruang diperbarui dengan ketepatan tambahan sekitar 200 kilometer — pencapaian signifikan untuk perencanaan misi masa depan.
Mengapa Uranus Unik? Uranus berada hampir 3 miliar kilometer dari Bumi, dan tergolong sebagai planet raksasa es (ice giant) — bersama saudaranya,
Neptunus. Atmosfernya tersusun dari hidrogen, helium, air, amonia, dan metana, dengan interior yang mengandung cairan super dingin. Tidak seperti planet berbatu, Uranus tidak memiliki permukaan padat, melainkan lapisan dalam yang sangat tebal dan dinamis. Walaupun sering tertutupi oleh popularitas
Saturnus, Uranus memiliki 13 cincin yang tersusun dari es dan debu. Dan sejak Voyager 2 terbang melewati Uranus pada tahun 1986 — satu-satunya wahana antariksa yang pernah mendekatinya — data langsung dari planet ini sangat terbatas. Emma Dahl, peneliti pascadoktoral dari Caltech, membantu mengoperasikan NASA Infrared Telescope Facility (IRTF) di puncak Mauna Kea, Hawaii — teleskop yang awalnya dibangun untuk mendukung misi Voyager.
“Planet gas dan es adalah laboratorium atmosfer yang sempurna karena mereka tidak memiliki permukaan padat yang dapat mempengaruhi pengamatan. Kita bisa mempelajari pembentukan awan, badai, dan pola angin dengan lebih sederhana,” kata Dahl. “Ini adalah bukti nyata bagaimana kolaborasi antara NASA, akademisi, dan astronom amatir bisa membuka wawasan baru.”Menatap Langit 2031: Okultasi Lebih Cerah Menanti Ke depan, NASA akan terus mengamati okultasi Uranus terhadap bintang-bintang lain yang lebih redup.
Namun, momen besar selanjutnya akan datang pada tahun 2031, ketika Uranus akan kembali melintasi bintang terang lain — yang bahkan lebih cerah dibanding peristiwa 2025. Dengan rencana menggunakan pengamatan berbasis udara atau bahkan dari luar angkasa, NASA berharap data yang dikumpulkan kelak akan membantu membuka tabir lebih dalam dari atmosfer dan lingkungan Uranus. Kampanye Uranus Stellar Occultation 2025 berhasil membawa umat manusia selangkah lebih dekat dalam memahami salah satu planet terdingin dan paling terpencil di Tata Surya.
Bagi para ilmuwan, ini bukan hanya tentang melihat bintang yang meredup — tapi tentang mengurai rahasia ribuan kilometer di atas awan biru kehijauan Uranus. “Kami baru menyentuh permukaannya… secara metaforis,” ujar Saunders. “Tapi setiap cahaya yang meredup itu membawa informasi, dan kami sedang membacanya satu demi satu.”